Penghindaran Pajak vs Penggelapan pajak

catatan :

Artikel ringan ini semula ditulis untuk keperluan internal kantor salah satu kolega saya untuk menjelaskan kenapa sih bagian finance, acctg, pajak itu ribet banget mensyaratkan berbagai dokumen dalam setiap pengeluaran biaya promosi, marketing, entertainment dan sejenisnya. Masalah administratif bikin repot aja.. heheheh. Di setiap perusahaan pasti sering terjadi gap komunikasi antar departemen. misalnya marketing vs finance, marketing vs tax, finance vs tax, HR vs marketing dst karena benturan berbagai kepentingan dan sudut pandang. Diposting di blog dengan sedikit editing dan menghilangkan bagian penutup.

———

Penghindaran Pajak vs Penggelapan pajak

Pengantar

Konon, di dunia ini tidak ada sesuatu yang pasti selain pajak dan kematian. Kita hidup pasti membayar pajak dan juga pasti mati. Nyaris tidak ada tempat di dunia ini yang bebas dari pajak, kecuali kita tinggal di daerah terpencil dan tidak berhubungan dengan dunia luar sama sekali. Sejak bayi lahir ke dunia ini, mulai menggunakan berbagai barang kebutuhan hidup sehari-hari (pakaian, susu, makanan dll) semua terkena pajak. Pada saat orang tua membelanjakan uangnya untuk keperluan calon buah hati tercinta, saat itu pula kita sudah membayar pajak.

Bagi perusahaan, negara adalah “pemegang saham utama” dengan porsi sebesar 30% (tarif pajak yang berlaku). Sebelum laba dibagikan kepada para pemegang saham/owner, perusahaan terlebih dahulu diwajibkan untuk membayar 30% ke kas negara sebagai kewajiban pajak.

Bagi karyawan, demikian pula. Sebelum gaji dibayarkan kepada karyawan, sebelum kita bisa membelanjakan gaji yang kita peroleh, pada dasarnya pajak yang terutang (PPh 21) sudah harus dipotong dan disetorkan ke negara.

Pajak adalah beban bagi perusahaan

Pajak adalah beban bagi perusahaan, sehingga wajar jika tidak satupun perusahaan (wajib pajak) yang dengan senang hati dan suka rela membayar pajak. Karena pajak adalah iuran yang sifatnya dipaksakan, maka negara juga tidak membutuhkan ‘kerelaan wajib pajak’. Yang dibutuhkan oleh negara adalah ketaatan. Suka tidak suka, rela tidak rela, yang penting bagi negara adalah perusahaan tersebut telah membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Lain halnya dengan sumbangan, infak maupun zakat, kesadaran dan kerelaan pembayar diperlukan dalam hal ini.

Mengingat pajak adalah beban –yang akan mengurangi laba bersih perusahaan- maka perusahaan akan berupaya semaksimal mungkin agar dapat membayar pajak sekecil mungkin dan berupaya untuk menghindari pajak. Namun demikian penghindaran pajak harus dilakukan dengan cara-cara yang legal agar tidak merugikan perusahaan di kemudian hari.

Penghindaran pajak dengan cara illegal adalah penggelapan pajak. Hal ini perbuatan kriminal, karena menyalahi aturan yang berlaku. Contoh kasus penggelapan pajak :

  • Melaporkan penjualan lebih kecil dari yang seharusnya, omzet 10 milyar hanya dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan sebesar 5 milyar misalnya.
  • Menggelembungkan biaya perusahaan dengan membebankan biaya fiktif;
  • Transaksi export fiktif,
  • Pemalsuan dokumen keuangan perusahaan

Jika kita analogikan pajak dengan karcis tol, Jika kita lewat jalan tol namun tidak membayar karcis tol, maka itulah penggelapan pajak. Sedangkan jika kita menghindari untuk membayar karcis tol dengan cara memilih lewat jalan biasa, maka itulah penghindaran pajak. Menghindari membayar tol (pajak) dengan cara tidak lewat jalan tol adalah cara yang legal.

Bagaimana cara menghindari Pajak

Seperti halnya dengan menghindari jalan tol (memilih jalan biasa) agar terhindar dari kewajiban membayar karcis tol, cara yang paling mudah dan legal untuk menghindari pajak adalah dengan cara menghindari transaksi yang merupakan obyek pajak, misalnya dengan tidak memperoleh penghasilan. Namun tentu saja pilihan ini tidak mungkin untuk dipilih. Tentu kita tidak mau khan hanya demi menghindari pembayaran pajak, lantas kita tidak mau memperoleh penghasilan?

Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat berbagai celah –loophole- yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan optimal dan minimum (secara keseluruhan). Optimal disini diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak dengan jumlah yang ‘paling sedikit’ namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku.

Selain menghindari transaksi yang merupakan obyek pajak, langkah-langkah penghematan pajak yang dapat dilakukan oleh perusahaan antara lain :

  • Memilih Bentuk usaha yang memiliki tarif Pajak terendah
  • Memaksimalkan biaya yang telah dikeluarkan agar dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan,
  • Memilih berbagai alternatif transaksi yang memberikan efek beban pajak terendah.
  • Memaksimalkan kredit pajak yang telah dibayar

Bagaimana pajak perusahaan dihitung

Pada dasarnya kewajiban pajak perusahaan dihitung berdasarkan laba bersih yang diperoleh selama satu periode (satu tahun pajak). Laba bersih perusahaan dihitung berdasarkan laporan keuangan yang disusun oleh perusahaan.

sebagai gambaran, laporan laba rugi yang disusun oleh perusahaan :

Uraian Jumlah (Rp)
Penjualan 10.000.000
Harga Pokok Penjualan 6.000.000
Laba Bruto 4.000.000
Biaya Operasional :
– Biaya Pemasaran (Promosi, sponsorship dll) 1.000.000
– Biaya Gaji karyawan 900.000
– Biaya Operasional lainnya 1.500.000
Sub total Biaya Operasional 3.400.000
Laba Bersih 600.000
PPh terutang – 30% 180.000
Laba Bersih setelah Pajak 420.000

Dalam contoh tersebut laba bersih perusahaan sebelum pajak sebesar Rp 600.000. PPh yang terutang sebesar Rp 180.000 sehingga laba bersih setelah pajak –yang dapat diinvestasikan kembali- atau dibagikan kepada pemilik sebagai dividen sebesar Rp 420.000

Tidak semua Biaya Operasional dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan

Dalam ilustrasi perhitungan PPh di atas, diasumsikan bahwa seluruh biaya operasional perusahaan dapat dibebankan/ diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan. Sehingga pajak yang terutang dihitung berdasarkan laba bersih.

Sayangnya, sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku terdapat berbagai macam biaya yang –meskipun secara akuntansi komersial dan bisnis- memang dikeluarkan oleh perusahaan untuk keperluan usaha; namun tidak dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung PPh terutang atau menjadi non deductable expenses.

Secara umum, pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan secara fiskal (deductable expenses) adalah pengeluaran yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha. Pengeluaran biaya tersebut dilakukan dalam rangka mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan serta didukung dengan bukti yang memadai (valid & reliable).

Meskipun pengeluaran yang dilakukan perusahaan benar-benar berhubungan langsung dengan kegiatan usaha, secara internal-pun sudah diakui kebenaran transaksi tersebut, sepanjang pengeluaran tersebut tidak didukung adanya bukti transaksi yang memadai, bukti transaksi yang valid dan reliable maka sesuai dengan ketentuan perpajakan, pengeluaran tersebut menjadi non deductable expenses.

Berbicara mengenai bukti kebenaran suatu transaksi, akuntansi mencatat suatu transaki yang telah lewat kejadiannya (historical data), satu-satunya alat yang dapat membuktikan bahwa transaksi tersebut benar adanya, yaitu dengan adanya dokumen yang valid dan reliable. Selain dokumen, tentu saja adanya internal kontrol yang kuat yang dapat mencegah terjadinya transaksi-transaksi yang tidak benar juga diperlukan.

Meskipun secara akuntansi komersial, suatu transaksi telah dapat dibuktikan kebenarannya –berdasarkan dokumen- yang ada, ketentuan perpajakan belum tentu menerima hal tsb.

Kalau ketentuan pajak tidak mengakui pengeluaran perusahaan sebagai deductable expenses, apa efeknya?

Dalam ilustrasi perhitungan PPh di atas, diasumsikan bahwa semua biaya operasional dapat diakui sebagai pengurang penghasilan seluruhnya sehingga PPh terutang dihitung berdasarkan laba bersih. Apabila atas biaya operasional perusahaan tidak dapat dibebankan sebagai biaya secara fiskal –menjadi non deductable expenses-, maka perhitungan pajak dilakukan berdasarkan laba bersih setelah ditambah dengan pengeluaran yang merupakan kelompok non deductable expenses.

Jika dalam ilustrasi perhitungan di atas, komponen biaya pemasaran tidak didukung bukti pengeluaran yang valid misalnya, selain itu juga terdapat biaya entertainment yang tidak didukung daftar nominatif, sehingga seluruhnya tidak dapat dibebankan sebagai biaya (dikoreksi menjadi non deductable expenses), maka ilustrasi perhitungan PPh-nya menjadi sebagai berikut :

Uraian Jumlah (Rp)
Penjualan 10.000.000
Harga Pokok Penjualan 6.000.000
Laba Bruto 4.000.000
Biaya Operasional :
– Biaya Pemasaran (Promosi, sponsorship dll) 1.000.000
– Biaya Gaji karyawan 900.000
– Biaya Operasional lainnya 1.500.000
Sub total Biaya Operasional 3.400.000
Laba Bersih – komersial 600.000
Ditambah :
Biaya pemasaran yang merupakan non deductable expenses 1.000.000
Laba yang menjadi dasari perhitungan Pajak 1.600.000
PPh terutang – 30% 480.000 80,00%
Laba Bersih setelah Pajak 120.000

Dari ilustrasi perhitungan ini, dapat terlihat bahwa pengeluaran yang nyata-nyata sudah menjadi beban perusahaan untuk keperluan memasarkan produk –biaya promosi dan sponsorship- namun karena biaya tersebut tidak didukung bukti yang valid, perusahaan memiliki kewajiban pajak yang jauh lebih tinggi dibanding seharusnya. Dalam contoh tersebut tarif efektif PPh mencapai 80% dari laba bersih.

Membayar 30% saja sudah menjadi beban apalagi harus membayar sampai 80%, tentu menjadi beban yang sangat berat bagi perusahaan.

Memilih alternatif transaksi yang memberikan efek pajak termurah

Selain wajib membayar pajak atas penghasilan yang diperoleh, perusahaan juga memiliki kewajiban untuk memotong pajak yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan kepada pihak lainnya, baik kepada karyawan maupun kepada pihak ketiga.

Atas pembayaran gaji dan tunjangan kepada karyawan perusahaan wajib memotong dan menyetor PPh 21 yang terutang. Pembahasan mengenai PPh 21 akan dilanjutkan pada kesempatan lain.

Sedangkan atas pembayaran kepada pihak ketiga, atas imbalan jasa/ kegiatan, perusahaan juga memiliki kewajiban memotong PPh 23 yang terutang dan menyetorkannya ke kas negara. Dalam kondisi yang ideal, PPh pasal 23 yang harus dipotong dari pembayaran kepada pihak ke-3 (vendor) tidaklah menjadi pengurang penghasilan (biaya) bagi perusahaan, karena perusahaan hanya mengurangi jumlah uang yang akan dibayarkan kepada vendor sebesar tarif PPh 23 yang berlaku dan menyetorkannya ke kas negara.

Sayangnya, dunia –apalagi dunia pajak- tidak selalu indah. Ada saat dimana perusahaan harus melakukan transaksi dengan vendor yang lebih superior dan tidak bersedia dipotong pajak atas fee yang akan diterimanya. Ada saat dimana perusahaan dalam posisi sangat membutuhkan jasa ‘pihak ketiga tersebut’ karena otoritas yang dimilikinya. Dalam kondisi seperti ini, perusahaan lagi-lagi akan memperhitungkan alternatif mana yang harus dipilih agar pajak tidak semakin menjadi beban bagi perusahaan. Kadang perusahaan terpaksa memilih untuk melakukan gross up atas fee yang akan dibayarkan kepada vendor / pihak ketiga yang jasanya sangat dibutuhkan perusahaan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Adakalanya perusahaan memilih untuk menanggung pajak yang seharusnya menjadi beban pihak lain, meskipun beban pajak tersebut pada akhirnya menjadi komponen non deductable item.

Tujuan perusahaan yang harus dicapai secara bersama-sama

Salah satu tujuan sebuah perusahaan didirikan adalah untuk tujuan ekonomi. salah satu tolok ukur keberhasilan sebuah perusahaan secara ekonomi adalah pencapaian laba bersih –setelah pajak- yang tinggi.

Laba bersih yang tinggi tentu diawali dengan pencapaian target penjualan yang tinggi, kemudian diikuti dengan pengeluaran biaya-biaya yang efisien, dan pembayaran pajak yang optimal, sehingga akan dicapai laba bersih setelah pajak yang maksimal.

Ketika penjualan mencapai target, namun biaya yang dikeluarkan jauh lebih tinggi –misalnya- maka secara ekonomi hal tsb hanya akan menjadi sebuah pencapaian yang “sia-sia”.

Demikian pula ketika laba bersih –secara komersial- sudah mencapai angka yang optimal, karena didukung dengan pencapaian target penjualan yang maksimal dan pengeluaran yang minimal, bisa jadi akan menjadi sia-sia ketika ternyata laba habis tergerus beban pajak yang tidak seharusnya. Misalnya karena banyaknya biaya yang merupakan kriteria non deductable expenses.

35 tanggapan untuk “Penghindaran Pajak vs Penggelapan pajak

  1. Tulisan ini menurut saya sangat bagus, semoga dapat memberikan pengertian kepada Wajib Pajak agar tidak terjadi penggelapan pajak. Dan negara kita jadi makmur

    >>Terima kasih. Amin

    Suka

  2. Mba tri, lam kenal yah…

    Pembayaran Pajak yang sudah dan telah dibayar oleh para WP ke Kas Negara , uangnya diapakan yah? jangan – jangan dikorupsi lagi ..hehehehe

    >> Salam kenal. Silahkan liat APBN mba 🙂

    Suka

  3. Mba, trims atas ulasannya. Moga2 bisa dibahas lebih dalam mengenai Deductable/Non deductable exopenses. Trims

    >> Sama2 pak. Terima kasih jg. Insya Allah di lain kesempatan

    Suka

  4. semoga makin banyak orang pajak mbahas pajak di blognya…

    gak kayak saya…. saya cuman kampanye tentang clean government saja, mbak!!!

    —alasan—

    >> ya Semoga. Meskipun saya bukan orang pajak 🙂

    Suka

  5. ada yang kurang nih mbak tri..
    1. pajak bukan sesuatu yang pasti, sesuatu yang pasti tentunya akan terjadi, kayaknya di jaman nabi adam nggak ada pajak deh…he..he..he.
    2. malaikat itu katanya makhluk yang pasti, yaitu pasti benar.
    3. iblis itu katanya makhluk yang pasti, yaitu pasti salah.
    Dan masih banyak kepastian-kepastian lainnya….he..he..he malah ngomongin yang lain yah…
    Ntar next fordis bahas apaan lagi yah mbak…?

    >>hmmm … pernah ngalamin jaman nabi Adam yah mas? hehheh
    thanks anyway atas komentnya meskipun oot -ga bakal dibanned kok- 😀

    Suka

    1. sekarang banyak sekali WP yg menggelapkan pajak, contoh: perusahaan kontraktor membuat kontraknya dibagi dg persentase 75 – 25, yg 75 include ppn dan yg 25 ga pake ppn (kontrak bukan nama pt, tp nama salah satu karyawannya yg ga ngerti masalah perpajakan), hal seperti ini banyak sekali digunakan oleh kontraktor2 dg ownernya, pertanyaannya ? apakah hal tsb bisa dikategorikan sebagai penggelapan pajak ? kalau ya, tentunya dpt diproses sbg tindakan yg merugikan negara ? apakah nanti yg memberikan informasi akan dijadikan kambing hitam untuk menutupi kejahatan sipengusaha (abis penyidik sdh diamplopin oleh sipengusaha), seperti yg sudah2….mudah2an ga lah, diantara penjahat2 yg berkedok pemberantas kejahatan mash ada yg bersih sih sih……

      Suka

  6. “Wahh. mantap infonya..Trims bgt”
    Boleh saya referensikan yahh
    —————————————
    Met pagi Mbak.. blogwalking.
    sekalian ngenalkan website resmi kantor kami yang baru
    http://www.beacukai-kediri.com
    Karena masih baru, mohon masukannya yah..
    Lebih membahas sisi cukai daripada pabean dan pajak.
    Smoga bisa jadi bahan referensi…
    Salam tuk keluarga

    Saya Prodip BeaCukai Angk.VII/94

    >> Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Juga atas referensinya. Semoga website BC tsb sering diupdate shg bisa memberikan informasi bagi WP. Saya bukan Prodip, jg bukan STAN 🙂

    Suka

  7. Selamat Malam Bu Triyani,

    Saya mau minta saran ttg bagaimana menyelesaikan masalah pajak di perusahaan temen.

    Perusahaan tersebut berdiri 10 th lalu dengan pengelolann spt warung, walaupun sejak 1999 sudah NPWP dan PKP. Masalahnya adalah, Pelaporan Pajak atas PPH dan PPN (omzet) tidak sesuai dengan kenyataan karena memang belum paham tt pajak dan konsekuensinya.

    Mulai tahun 2003 dilakukan pembenahan secara bertahap agar tahun 2006 pajak dapat dilaporkan apa adanya (100%). Namun setelah berjalan sampai dengan sekarang (SPT tahun 2007), ada selisih antara Lap keuangan Komersial dan Fiskal pada pos Laba ditahan. Di Lap Fiskal, jumlah laba ditahan kecil, tapi angkanya pindah ke Hutnag lain2. Sementara di Lap Keu Komersial Jumlah laba ditahan cukup besar (riil).

    Bagaimanakah cara yang paling aman agar Lap Keu Komersial dan Fiskal bisa sama pada SPT tahun 2008 mendatang tanpa mengakibatkan pemeriksaan dan denda dari kantor pajak.

    Demikian, terima kasih atas perhatian dan bantuan Ibu.

    Hormat saya,

    Pramono

    >> Terima kasih atas kunjungannya.
    Quote : Bagaimanakah cara yang paling aman agar Lap Keu Komersial dan Fiskal bisa sama pada SPT tahun 2008 mendatang tanpa mengakibatkan pemeriksaan dan denda dari kantor pajak.

    Jawaban yang paling simple : “Seharusnya dilakukan dengan cara membetulkan SPT Tahun sebelumnya 🙂 ”

    Mohon maaf saya tidak bisa memberikan saran yang lebih realistis (baca : selain membetulkan SPT Tahunan tahun sebelumnya) tanpa melihat data dan informasi yang lebih detail.

    Suka

  8. Pertimbangan wajib pajak melakukan penghindaran pajak / memperkecil pajak, dikarenakan tingkat prosentase/ tarif pajak yang tinggi. Makin tinggi tarif pajak yg dikenakan, makin banyak orang (WP) yang menghindar . Makanya pemerintah (Dirjen Pajak), jgn menetapkan tarif yang tinggi. Lebih baik utamakan pertumbuhan ekonomi, dari pada menetapkan penerimaan pajak yg tinggi melalui tarif yang tidak friendly to bisnis

    >> Mungkin juga 🙂 , menurut saya yang lebih penting lagi adalah soal kepastian hukum dan keadilan 🙂

    Suka

  9. Tulisannya bagus, ide bagus untuk memberikan pengertian kepada WP untuk lebih jujur membayar pajak, tapi sayang kerelaan untuk yang 30% itu masih tinggi dan setelah masuk kas negara duitnya untuk apa aja ya… , apa bener digunakan untuk kemakmuran seluruh rakyat ini atau hanya untuk golongan tertentu saja ya….

    >> liat aja di APBN 🙂

    Suka

  10. lam kenal ya mbak,bisa dibahas lebih dalam ga soal loophole ini..mis.nya -memilih berbagai alternatif transaksi yg memberikan efek beban pjk terendah, contohnya apa ya mbak? trims sebelumnya

    >> Salam kenal. Dibahas lebih dalam lagi? bisa aja sih, tapi ngga disini heheeh..

    Suka

  11. Yup NEGARA meminta WP Trasnparat Kenapa NEGARA gak trasnparat???

    Klo mau di audit tuh DJP liaat kemana aja aliran uangnya tar ketahuan biar sama sama trasnparant gitu loh

    klo berani hebat dan salut deh

    Suka

  12. Ass.W.W
    sebenarnya pajak yang telah kita keluarkan itu larinya kemana ya??
    menurut saya pajak yang dikeluarkan oleh WP misal dikab “A” ya harus dikeluarkan di kab tersebut jg, sehingga pembangunan dapat mencapai ke daerah2 terpencil. tidak kok dikeluarkan di kab “A” yang menikmati oleh kab “Z”> misal kan…
    Terima kasih
    Wass.w.w

    Suka

  13. aslm,, sblmnya salam kenal ya mba, aq isti,mo tnya nich,, bagamana ci konsep metode dan teknis rekonsiliasi fiskal itu?? aq mnta penjelasannya ya,,, syukron,,

    >> Ada sedikit tulisan ttg rekonsiliasi fiscal dalam artikel bagaimana menghitung PPh terutang. silahkan click artikel dg kategori PPh Badan.

    Suka

  14. mba….
    mau tanya biaya bunga pemegang saham masuk ke non deductable exp atau deductable exp…ma kasih yah mba

    >> maksudnya biaya bunga pinjaman ke pemegang saham? Sepanjang pinjamannya utk kegt usaha dan nilainya wajar (jgn lupa jg masalah DER krn ini related party) menurut saya deductable.

    Atau biaya bunga pinjaman pribadi si pemegang saham yg seharusnya merupakan beban pribadi namun ditanggung perusahaan? Kalau ini NDE.

    Suka

  15. mbak biaya2 yang non deductible dan deductible itu apa aja?

    saya bisa liat daftaranya di mana?

    terus apa yang dimaksud dengan taxable mbak…

    terima kasih…

    >> Non deductable = Biaya yang tidak dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung penghasilan kena pajak
    Deductable = biaya yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung penghasilan kena pajak
    Taxable = merupakan obyek pajak.

    ‘Daftar deductable non deductable, lihat UU PPh dan peraturanna pelaksanaanya. misalnya : Pasal 6, pasal 9 UU PPh

    Suka

  16. Mo ikut nanya Bu..
    Jika ada dua prusahaan, yang satu pemberi kerja dan yang satu penerima kerja, yang mana pekerjaan itu objek pajak.
    Mana yang kena sanksi jika pemberi kerja tidak membayar pajak ke penerima kerjaan, dan si penerima kerja pun tidak menagihkan PPN nya.

    terimakasih.

    >> Apakah Penerima kerja PKP?
    Jika penerima kerja PKP, maka PKP tsb kurang pungut PPN. akan dikenakan sanksi pokok + denda.
    Jika pemberi kerja adalah pemotong pajak, dan atas pekerjaan tsb obyek pemotongan PPh (23, 4 ayat 2 dll) maka pemberi kerja kena sanksi tidak/kurang memotong PPh yang terutang. akan dikenakan sanksi pokok + denda.

    Suka

  17. Terimakasih atas informasinya Bu..
    Nanya lagi lebih lanjut Bu, tahun 2007 kami diperiksa pajak karena kami lapor lebih bayar untuk tahun 2006. hasil akhir kami diharuskan membayar PPN atas pekerjaan yg kami dpt di thn 2006, dan diberitahu bahwa kami sdh PKP sejak Januari 2006, padahal kami belum pernah minta dikukuhkan atau diberitahu bahwa kami telah PKP.

    Kami ini koperasi jika harus membayar PPN sebesar itu, jelas kami bakal bangkurt Bu..

    Menurut Ibu, pemecahan harus bagaimana..

    Terimakasih.

    Suka

  18. mbak.. makasih yah buat infonya. Mba, Nita mau tanya nih.. Jadi kalo penghitungan pajak untuk badan biasanya dihitungnya per tahun yah? Kalo PPh pasal 25 itu untuk kasus seperti apa sih?

    Suka

  19. tapi saya ragu, APBN dibangun dengan keterpaksaan, berkahnya itu maksudnya.

    menurut saya yang represif dari aturan pajak adalah tarifnya dan jebakan sanksi dan denda.

    ada juga peradilan pajak dan banding, kalau wajib pajak kalah harus membayar 50% terutang + terutang pajaknya sendiri.
    ayam aja ketawa kali, mana mungkin wajib pajak menang di pengadilan pajak dan banding..

    Suka

  20. Ass wr wb
    Mba saya mau tanya, misal kan saja penghasilan saya perbulan sktr 40jt/bln, modal awal saya dapatkan dgn cr meminjam dr bank, dengan pembayaran perbulan 10jt, gaji karyawan 7 jt
    Pembelian barang dagang 20jt
    Biaya opersional 3jt
    Berapa pajak yg harus saya bayarkan?
    Apakah benar jika pendapatan di bawah 600jt/ thn tidak di kenakan pajak….
    Trimakasih

    Suka

  21. mau nanya mba,,klo misalnya tagihan mandor ke perusahaan kita menggabungkan semua biaya(entah itu material dan upah) menjadi satu kedalam item upah saja,bagaimana perlakuan pph-nya mba????makasih sebelumnya.

    >>mandor berarti WPOP ya? dipotong PPh 21 dari total tagihan, jika semua dianggap upah krn tdk ada rinciannya. DPP 50% x Jml imbalan bruto ya. Tarifnya sesuai pasal 17 UU PPh. (5%, 15%, 25%, 30%) sesuai lapisan penghasilan kena pajaknya.

    Suka

  22. Assallam…
    Saya mau share nih mbk, tapi artikel ini Daftar Pustakanya gx ada y?

    >> Namanya artikel ringan, iseng2 jadi ga pakai ditulis daftar pustakanya 🙂

    Suka

  23. point nya sya gak dpet ne mbak…
    dri judul : penggelapan pajak vs penghindaran pajak
    apa keduanya sma2 melanggar UU? atau hanya penggelapan pajak saja?
    dan jika ya penghindaran pajak dpat dilakukan (tanpa melanggar UU) mengapa dalam artikel http://jurnalakuntansikeuangan.com/2011/09/credit-suisse-membayar-usd-207-juta-untuk-penghindaran-pajak/ dikenakan sanksi?
    mohon share ilmunya mbak …
    btuh jwaban ne (send e-mail aja ya mbak)
    thanks…

    Suka

Tinggalkan komentar